JAKARTA (suarasiber.co.id) – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mendorong para orangtua untuk memenuhi gizi anak sebagai langkah percepatan penurunan angka stunting di Indonesia. Menurutnya, stunting merupakan salah satu problematika serius dalam tumbuh kembang anak yang perlu diselesaikan bersama.
Menteri Bintang menjelaskan stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang disebabkan kekurangan gizi kronis maupun infeksi berulang terutama pada seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu 270 hari selama kehamilan dan 2 tahun pertama kehidupan anak. Menteri Bintang menambahkan karena kondisi gagal tumbuh ini, secara fisik tinggi badan anak yang mengalami stunting akan berada di bawah standar deviasi daripada anak seumurnya.
“Anak yang mengalami stunting memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dalam berbagai sektor kehidupannya. Anak yang mengalami stunting lebih rentan terkena penyakit kronis, seperti diabetes dan kanker sehingga meningkatkan mortalitas. Secara kognitif, stunting juga berpengaruh terhadap berkurangnya Intellegence Qoutient (IQ) secara signifikan,” tutur Menteri Bintang dalam Rapat Koordinasi Bidang Kesehatan, Perempuan, dan Anak Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) secara virtual, Sabtu (12/6).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, angka stunting nasional mengalami penurunan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018. Kemudian, menurut hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, stunting berada pada angka 27,7 persen. “Meski demikian, angka ini masih cukup jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu sebesar 14 persen,” ujar Menteri Bintang.
Menteri Bintang menjelaskan Kemen PPPA telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi stunting di Indonesia, diantaranya pendampingan melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) untuk memberikan edukasi mengenai pengasuhan berbasis hak anak, termasuk terkait gizi anak; program pemenuhan hak anak atas gizi seimbang; mendorong pembangunan pelayanan kesehatan publik yang ramah anak; hingga mendorong penyediaan kebutuhan spesifik bagi perempuan dan anak dengan bekerja bersama Kementerian/Lembaga maupun dunia usaha agar gizi anak tetap terpenuhi.
Menurut Menteri Bintang, permasalahan stunting juga memiliki keterkaitan dengan isu-isu ketidaksetaraan gender serta isu perempuan dan anak lainnya. “Perempuan merupakan kelompok masyarakat yang lebih miskin dibandingkan dengan laki-laki (OCED, 2019). Hal ini menyebabkan mereka hidup dalam lingkungan yang kurang sehat dan gizinya tidak terpenuhi. Padahal, perempuan yang sehat akan melahirkan anak-anak yang sehat pula,” ungkapnya.
Selain itu, Menteri Bintang juga menyebutkan akses terhadap layanan kesehatan yang kurang serta permasalahan gizi sejak dini dapat menyebabkan perempuan menderita anemia. “Perempuan yang mengalami anemia akan rentan melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah dan stunting. Sungguh memprihatinkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2018, 48,9 persen ibu hamil mengalami anemia, baik di desa maupun di kota,” tutur Menteri Bintang.
Senada dengan Menteri Bintang, Menteri Sosial, Tri Rismaharini juga menekankan pentingnya pemenuhan gizi untuk mengurangi angka stunting. “Kita bisa melakukan sinergi dan membuat program bersama-sama, misalnya memberdayakan peternakan ayam yang bisa menghasilkan telur setiap hari. Kalau itu bisa kita lakukan, maka perbaikan gizi bisa dilakukan tanpa harus menunggu bantuan secara terus-menerus. Karena bantuan pasti terbatas stoknya dan bisa dihentikan penyalurannya. Dampaknya kesinambungan kebutuhan nutrisi dan protein bisa terputus,” tutur Risma.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mendorong percepatan penurunan angka stunting di Indonesia agar dapat memanfaatkan bonus demografi yang ada. “Bonus demografi mencerminkan jumlah orang yang produktif lebih besar dibandingkan orang yang tidak produktif. Kalau yang produktif stunting, tidak akan memberikan daya ungkit kepada pendapatan per kapita,” pungkas Hasto.
Hasto mengungkapkan terdapat beberapa ciri sebuah negara tidak bisa memanfaatkan bonus demografi, seperti adanya perkawinan anak, anak yang putus sekolah, kehamilan tanpa perencanaan, serta angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. “Maka akan terjadi missed demographic dividend atau kita tidak bisa memetik bonus demografi meskipun kita memiliki banyak usia produktif. Karena penderita stunting pemikirannya di bawah rata-rata dan mudah sakit, maka tidak bisa produktif secara ekonomi,” tutup Hasto.
(Sumber: BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK)