JAKARTA (suarasiber.co.id) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong komitmen pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengatakan, proses adopsi perjanjian internasional Konvensi ILO 190 dapat menjadi salah satu upaya preventif untuk mencegah serta menangani permasalahan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
“Konvensi ILO 190 mampu memberikan kerangka aksi yang jelas bagi masa depan perempuan di dunia kerja yang lebih baik, bermartabat, serta bebas dari segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi di tempat kerja,” ujar Ratna dalam Webinar Stop Kekerasan di Dunia Kerja, Selasa (29/6).
Lebih lanjut Ratna menjelaskan, Konvensi ILO 190 dapat memberikan perlindungan bagi seluruh pekerja baik itu di sektor formal maupun informal, seperti asisten rumah tangga. Bahkan, konvensi tersebut juga melindungi pekerja ketika berada dalam perjalanan berangkat maupun pulang bekerja.
“Selain itu, di masa pandemi ini, banyak pekerja yang melakukan pekerjaannya dari rumah atau work from home (WFH). Kemen PPPA mendorong komitmen seluruh pihak bagi pengesahan Konvensi ILO 190 karena mengatur terkait kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja secara online yang signifikan terjadi pada saat pandemi Covid-19. Tentunya upaya bersama ini yang terus kita lakukan untuk bisa memastikan pemenuhan hak perlindungan pekerja perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan,” tutur Ratna.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 2020 menunjukkan, banyaknya perempuan korban kekerasan di Indonesia yang melapor serta mendapatkan pelayanan dan bantuan. Berdasarkan data tersebut, 173 korban melaporkan kasus kekerasan di tempat kerja. “Rendahnya laporan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja berkaitan dengan ketergantungan korban maupun saksi atas keamanan kerja dan sumber pendapatannya, yang tentu berasal dari tempat kerjanya. Ketergantungan tersebut membuat korban dan saksi menjadi enggan atau bahkan takut melaporkan kasus kekerasan dan pelecehan yang dialaminya,” ungkap Ratna.
Kepala Perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia, Valerie Julliand menyebutkan kekerasan bisa terjadi dalam berbagai bentuk, baik itu fisik, psikologi, seksual, hingga ekonomi. “Konvensi ini mencakup semua bentuk dari kekerasan dan pelecehan, tapi fokus terutama pada isu yang mendesak yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender. Pandemi Covid-19 mengakibatkan adanya peningkatan kekerasan terhadap perempuan, termasuk di Indonesia. Ini merupakan kondisi yang sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan respon yang sifatnya mendesak,” ungkap Valerie.
Urgensi pengesahan Konvensi ILO 190 juga disampaikan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kemen PPPA, Rafail Walangitan. Menurutnya kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi dimanapun, termasuk di tempat kerja merupakan tindakan yang tidak dapat diterima.
“Perlu kita sadari bahwa harus ada upaya dari semua pihak, mulai dari pemerintah, sampai ke akar rumput masyarakat, termasuk pengusaha juga harus memahami arti penting untuk melakukan penghapusan tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Kami melihat ini adalah suatu urgensi untuk kita melakukan pengesahan Konvensi ILO 190, sehingga pada akhirnya akan mampu memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan,” tutur Rafail.
Rafail menjelaskan, saat ini tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan berada di angka 54,03 persen, lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki, yaitu 82 persen. “Meskipun tingkat partisipasi perempuan pekerja ini jauh lebih rendah daripada laki-laki, tetapi ternyata angka tingkat kekerasan dan pelecehan seksual justru lebih banyak dialami perempuan,” imbuhnya.
Saat ini, Kemen PPPA telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi pekerja perempuan, diantaranya pengesahan Peraturan Menteri PPPA Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Penyediaan Sarana Kerja yang Responsif Gender dan Peduli Anak di Tempat Kerja, pelaksanaan Gerakan Pekerja/Buruh Perempuan Sehat Produktif, hingga pembentukan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di kawasan industri. “Sudah ada 6 RP3, terakhir telah diresmikan di sektor perkebunan di Kabupaten Musi Banyuasin. Ini penting karena di sektor industri banyak pekerja perempuan yang perlu kita berikan perlindungan,” ungkap Rafail.
Berdasarkan data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dalam kurun waktu Januari 2018-April 2021 terdapat 3257 kasus kekerasan fisik, psikologi, seksual, hingga ekonomi yang dialami PRT di Indonesia. Perwakilan JALA PRT, Ellyarumiyati menceritakan salah satu kasus kekerasan terhadap seorang PRT di Surabaya yang disekap, dianiaya, disetrika, dipukul, bahkan dipaksa mengonsumsi kotoran. “Dengan adanya Konvensi ILO 190, maka diharapkan tidak ada tindak kekerasan dan pelecehan yang selama ini dianggap wajar,” kata Ellya.
Country Director untuk Kantor ILO di Indonesia, Michiko Miyamoto mengatakan pengesahan Konvensi ILO penting dilakukan untuk menjadi landasan kerangka hukum yang dapat memengaruhi cara berpikir dan berperilaku masyarakat. Ia pun berpesan mengenai pentingnya implementasi Konvensi ILO 190. “Saya juga harus menekankan bahwa implementasi juga sama pentingnya dengan Undang-Undang atau peraturan. Bahkan ketika Anda sudah meratifikasi, tetapi tidak dijalankan, maka tidak akan ada banyak perbedaan terhadap kehidupan manusia di negara Anda,” tutupnya.
(BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK)