Suryadi
Pemerhati Kepolisian dan Budaya
“Katanya daerah ini, daerah santri. Tetapi,
anak-anak si sini bicara dengan orangtua saja,
seperti sudah tak ada lagi adab, kemana sopan-
santun itu. Sudah seenaknya saja.”
“Kekerasan seksual bahkan juga terjadi di dalam lingkungan
pendidikan (agama) seperti yang pernah kami terima
laporannya.”
Lebih-kurang dua kalimat seperti itu, dilontarkan oleh dua orang
peserta diskusi asal setempat yang berlatar belakang intelektual
dalam ‘Focus Group of Discussion’ (FGD) “Mendorong Tumbuhnya
Kelompok Peduli Lingkungan Rawan Kejahatan Terhadap
Anak dan Perempuan”, Selasa, 29 Juni 2021, di Mapolda
Banten, Serang. Peserta FGD pun rata-rata dari Banten.
Ketika kalimat pertama dilanjutkan dan dihubungkan dengan
kalimat kedua, kental terasa adanya stigma atau mungkin stereotip.
Akan tetapi, catatan penting dari event ini, ternyata tak ada
peserta yang reaktif lantaran tersinggung. Bahkan, ada yang
mengangguk-anggukan kepala sembari melempar tawa.
Tampaknya, semua memahami dan dewasa.
Lantas, apa sesungguhnya yang terjadi?
SECARA kebahasaan stigmatisasi dapat diartikan, “Konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subyektif dan tidak tepat”. Sementara stereotip dapat diartikan “Ciri negatif yang menempel pada seseorang karena pengaruh lingkungannya” (KBBI, 2002: 1091).
Terkait stigma atau stereotip, mengingatkan saya pada ceramah kebudayaan “Manusia Indonesia” (Sebuah Pertanggungjawaban) oleh Mochtar Lubis, 44 tahun silam. Ceramah ini dipidatokan Mochtar, budayawan, sastrawan, dan wartawan, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 6 April 1977.
Isi utama ceramah itu membicarakan enam sifat manusia Indonesia, di samping sifat-sifat lainnya. Keenamnya yaitu Munafik atau hipokrit, yang di antaranya menampilkan dan menyuburkan sikap ABS, asal bapak senang; Enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya; Bersikap dan berperilaku feodal; percaya takhayul; Artisitik, berbakat seni; Lemah watak.
Meski Mochtar menyatakan, “Ciri artistik manusia Indonesia adalah yang paling menarik dan memesonakan, dan merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia Indonesia” (2017: 33), tak urung masih saja mengundang polemik sengit, terutama dengan intelektual Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, seorang psikolog. Sarlito menuding Mochtar tidak ilmiah. Pernyataannya tidak didasarkan pada data hasil penelitian. Maka, hal yang dipaparkan Mochtar bisa terjadi pada bangsa mana pun di dunia (Kompas, 17 April 1977).
Polemik intelektual secara opini berlanjut tak hanya antara Mochtar dan Sarlito, tapi juga mengundang “rasa tidak terima” Margono Djodjohadikoesoemo, intelektual Jawa dan pendiri Bank BNI. Margono berpendapat tentang aristokrasi yang dihubungkan dengan pernyataan Mochtar yang mengecam keras berlangsungnya feodalisme di Indonesia. Jangan hanya dilihat dari segi negatifnya. Aristokrasi menunjukkan pula sikap dan budi mulia (Mochtar, 2017: vi). Margono adalah anak seorang Wedana Banyumas di masa lalu dan cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyakwide, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro
Seorang pengajar dan biolog, Dr. Wildan Yatim pun ikut berpendapat. “Saya beranggapan segala tabiat buruk yang diketengahkan Mochtar Lubis itu hanya bersifat sementara manusia Indonesia. … Lebih-lebih jika dipikirkan dalam kalbu kita ada rasa keagamaan…”, tulis lanjut Wildan, yang juga novelis dan cerpenis. (Kompas 24/5/77 dalam Manusia Indonesia, 2017: 109).
Akan tetapi, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Jakob Oetama yang berlatar pendidikan tinggi sejarah, secara arif menengahinya tanpa mengunakan kata “stigma”, melainkan “stereotip”. Menurut Jakob:
“Stereotip tidak seluruhnya benar, tidak pula seluruhnya salah.
Stererotip tumbuh dalam benak orang karena pengalaman, observasi,
tetapi juga oleh prasangka dan generalisasi. Tetapi saya cenderung
berpendapat, stereotip bermanfaat sebagai pangkal tolak serta
bahan pemikiran serta penilaian secara kritis, maka aktual dan
relevanlah buku ini” (pengantar Manusia Indonesia, 2017: vii).
Baik Sarlito, Margono, Wildan maupun Jakob, semua sudah berpulang seperti halnya juga Jakob. Akan tetapi, pemikiran kelimanya, setidaknya menurut penulis, tetap berguna. Jalan tengahnya, adalah seperti dikatakan oleh Wildan dan Jakob tadi.
Ayah Kandung dan Ayah Tiri AGAR tidak mengada-ada, seputar kejahatan kekerasan terhadap anak dan perempuan, ada baiknya simak data-data dan uraian selanjutnya, baik secara nasional maupun contoh dari beberapa daerah di Tanah Air. Ada pula riset yang penulis lakukan pada pemberitaan sejumlah media dalam 2018, tahun 2019, dan hingga November 2020.
Pada pada 2020 secara nasional telah terjadi 11.637 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kekerasan seksual menempati urutan tertinggi, 7.191 kasus. Di tahun 2021, dihimpun dari sistem informasi dari perlindungan perempuan dan anak, hingga 3 Juni tercatat 1.902 kasus dari total 3.122 kekerasan seksual. “Kekerasan seksual terhadap anak paling tinggi. Persoalan ini bagian yang harus kita waspadai,” Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nahar mengingatkan dalam sebuah diskusi, Jumat, 4 Juni 2021, di Jakarta. (Antara pada Bali Post.com. 4/6/21, 17:33:32)
Komnas Perempuan sebelumnya (Jumat, 5/3/21) mengungkapkan, sepanjang 2020 tercatat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Menurut Sang Ketua, Andry Yentriany, bentuk kekerasan di peringkat I di ranah pribadi adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%), kemudian kekerasan seksual 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%). Di ranah publik, kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebanyak 962 kasus (55%) yang terdiri atas kekerasan seksual lain (tidak disebutkan secara spesifik) tercatat 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan lima kasus, dan sisanya 10 kasus percobaan perkosaan. Terungkap pula, sepanjang 2020 tercatat 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas dan perempuan disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan, dengan persentase mencapai 45 persen. (Tempo.co,Jumat, 5/3/21, 20:40).
Tentang tindak kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mengaku pihaknya selama 2020 – 2021 memberikan perlindungan kepada 14 korban tindak pidana dengan status penyandang disabilitas. Satu di antara korban kekerasan seksual tersebut di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), yaitu anak perempuan difabel. Pelakunya tiga orang pria dewasa. Pada peristiwa kerasan seksual lainnya, seorang anak perempuan penyandang disabilitas, masih di Sulsel, yaitu di Soppeng. Di Makassar ada lagi korban dari peyandang disabilitas rungu. Ia diperlakukan hingga hamil dan melahirkan. Bahkan, di Enrekang, masih di Provinsi Sulsel, korban berhari-hari disekap dan diperkosa. Sebagian besar dari mereka yang dilindungi LPSK, diungkapkan Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar, Minggu (24/1/21), adalah korban kekerasan seksual.(gatra.com, 24/1/21, 23:21)
Di Sulawesi Tenggara (Sultra), seperti disiarkan Antara, Kepala Seksi Data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3APPKB) Sultra, Darwin mengungkapkan, jumlah laporan kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak pada 2020 tercatat 240 kasus. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan 140 laporan yang masuk dalam setahun sebelumnya. Dari jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di 17 kabupaten/ kota itu, di antaranya pertama, Kota Kendari 48 laporan dengan rincian 22 kekerasan fisik, 11 psikis, 16 seksual, enam penelantaran, dan satu kasus lainnya. Kedua di Kota Baubau 44 laporan dengan rincian 24 kekerasan fisik, 12 psikis, 10 seksual, tiga penelantaran, dan tiga kasus lainnya. Ketiga, Kabupaten Kolaka 30 laporan dengan rincian kekerasan fisik dan psikis masing-masing delapan, 17 seksual, satu eksploitasi, dan satu kasus lainnya. (antaranews.com, 18/4/21, 14:33)
Peristiwa kekerasan terhadap anak dan perempuan juga terjadi di wilayah Provinsi Banten. Dari data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Direktorat Kriminal Umum (PPA Ditkrimum) Polda Banten terungkap, kompilasi tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang 2019 – Juni 2021 berdasarkan laporan yang masuk di Polda dan enam Polres/ Polresta cukup tinggi, yaitu sebanyak 571 kasus. Dari jumlah ini, 458 kasus di antaranya kasus persetubuhan dan pencabulan yang korbannya anak di bawah umur. Jumlah kasus tertinggi di wilayah hukum Polres Pandeglang. Catatan lain dari 571 kasus tersebut, 98 kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 15 kasus tindak kekerasan terhadap anak (data PPA pada Ditreskrimum Polda Banten, Kamis, 24/6/2021).
Catatan lainnya yang memprihatinkan muncul dari Polres Pandeglang, Banten, Senin (17/5/21) ketika Polsek Bojong mengamankan tiga laki-laki dewasa pemerkosa gadis 16 tahun. Pemerkosaan terhadap anak perempuan disabilitas ini terjadi berkali-kali di tahun-tahun yang berbeda. Para pelaku orang-orang yang sangat dekat dengan korban. Pertama kali dia diperkosa oleh JM (51), ayah kandungnya sendiri, pada 2013. Pemerkosaan kedua pada 7 April 2021 dengan pelaku UK (30), tetangga korban. Terakhir pada 14 Mei 2021 terulang kembali dengan pelaku yang berbeda, yaitu SK (35). Laki-laki yang terakhir ini tak lain paman korban sendiri. SK adalah adik JM. Kejadian pertama yang dialami korban ketika ia baru berusia delapan tahun, sebenarnya, segera diketahui pihak keluarga. Namun, berakhir dengan permintaan maaf JM belaka. Sang ayah berjanji tidak akan mengulangi perbuatan bejat terhadap anak kandungnya yang disabilitas itu.
Kepiluan serupa juga dialami seorang anak perempuan di Cipocok, Kota Serang. Perempuan difabel yang kini duduk di bangku SMA ini, diperkosa ayah tirinya, AY (47) ketika berusia 16 tahun di tahun 2017. Di tahun 2019, korban sempat melahirkan seorang bayi hasil perbuatan bejat AY. Peristiwa ini terungkap setelah dilaporkan paman korban ke Polres Kota Serang, awal Februari 2021. Dalam pemeriksaan polisi, awalnya pelaku mengaku memerkosa puteri tirinya pada 2018, namun pada pemeriksaan lanjut terungkap sudah sejak korban berusia 16 tahun pada 2017. Perbuatan pertama korban, sebenarnya sempat diketahui Ibu kandung korban. Anehnya, sang Ibu malah memaksa korban menyaksikan ia sedang bersetubuh dengan AY (kompas.com, 03/02/21, 14:46).
Pada kejadian lain, seorang anak perempuan berusia 17 tahun dicabuli oleh ayah tirinya, AD (43), pada 2018 dan 2019. Ayah kandung korban, AW yang mendapat cerita dari korban mengadukan AD ke Polsek Wanasalam, Lebak, Sabtu (13/3/21. AW Kepada polisi menjelaskan, AD melakukan pencabulan terhadap puterinya lima kali dalam kurun 2018 dan 2019. Pertama kali ia lakukan ketika AT masih duduk di bangku SMA. Saat itu, AD beralasan mengobati AT yang gatal-gatal pada kulitnya. Tetapi, yang kemudian terjadi, adalah pencabulan yang pertama dialami AT. Perkara ini, kemudian ditangani unit PPA Polres Lebak.
Catatan berbeda penulis angkat dari riset sendiri berbasis sejumlah pemberitaan media tentang peristiwa kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Banten. Catatan ini, tentu saja, berbeda dengan catatan pihak-pihak lainnya, baik Polri maupun instansi-instansi yang berkompeten seperti Kemen-PPPA, Komnas Perempuan, P3APPKB, dan LPSK. Dari yang diriset atas pemberitaan media didapati kekerasan seksual di Banten sampai November 2020 sebanyak 17 kasus, dan 20 kasus pada 2019, sedangkan 2018 sebanyak 15 kasus.
Dilihat dari pelaku, sampai pada November 2020 yaitu lima orang dekat terdiri atas ayah, ayah tiri, dan paman; sembilan orang dekat seperti teman, tetangga, kenalan di medsos; satu orang guru agama; dua orang tak dikenal. Tahun sebelumnya, tiga pelakunya merupakan orang dekat yaitu ayah, ayah tiri, dan paman; 13 orang dekat yang merupakan teman, tetangga, kenalan melalui medsos; satu orang guru; dua orang guru agama; satu orang tak dikenal. Di tahun 2018 teriset dua orang dekat yaitu ayah dan ayah tiri; delapan orang dekat terdiri atas teman, tetangga, dan kenalan di medsos; satu orang guru; dan empat orang tak dikenal.
Pada 2020, tepatnya hingga November, riset media itu juga memunculkan 17 korban yang terdiri atas satu orang anak-anak; 13 orang di bawah umur; satu orang dewasa; dua orang tak diketahui usianya. Pada tahun sebelumnya, sebanyak 20 orang korban terdiri atas dua orang anak-anak; sembilan orang di bawah umur; lima orang dewasa; empat orang tak diketahui usianya. Pada 2018 teriset 15 korban terdiri atas satu orang anak-anak; sembilan anak di bawah umur; empat orang dewasa; dan satu orang tak diketahui dengan pasti.
Data-data tersebut mengungkapkan peristiwa kejahatan kekerasan, khususnya kejahatan seksual bahkan terhadap anak dan perempuan difabel dan disabilitas, yang terjadi Tanah Air. Jadi, bukan cuma di Sulsel, Sultra, dan Banten.
Bagi daerah-daerah yang merasa adanya ironisme berbasiskan identitas keagamaan, etnis, ada-istiadat, atau budaya, tak perlu malu atau tersinggung, lantas menuding hal itu sebagai stigmati atau stereotip. Masyarakat atau pemerintah daerah juga tidak perlu menutup-tutupi atas nama alasan aib atau memalukan daerah. Sebab, makin tertutup, akan makin membuka peluang bagi para pelaku untuk leluasa melakukan tak terpujinya. Setidaknya, ketertutupan akan membuat terbangunnya potensi kejahatan yang sewaktu-waktu bisa saja meletupkan terjadinya bebagai kekerasan.
Masa Covid-19 menyerbu sejak Februari 2020 hingga kini yang berakibat lanjut banyaknya orang menganggur dan tinggal di rumah, juga tidak bisa dijadikan alasan langsung terjadinya perbuatan sangat tercela itu. Alasan seperti ini, jelas tindakan “mengkambinghitamkan” Covid. Tak ada hubungan langsung antara musim Covid-19 dengan perbuatan seseorang menyetubuhi atau mencabuli anak dan perempuan. Apalagi, para korban sudah seharusnya dilindungi, seperti mereka yang di bawah umur dan memiliki kecacatan seperti difabel atau disabilitas.
Alasan yang menghubungkan musim Covid-19 dengan tindakan menyetubuhi atau mencabuli anak dan perempuan, dapat dianalogkan lewat pertanyaan, “Apakah korban kecelakaan lalu-lintas (KLL) yang beberapa hari kemudian meninggal dunia dalam perawatan, dapat divonis “meninggal langsung” akibat KLL?
Salah satu jalan terbaik yang dapat dipilih untuk pemecahan efektif terhadap peristiwa tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak dan perempuan, adalah dengan menemukannya di lingkungan pemukiman berbasis masyarakat dan keluarga. Dari situ, dapat diharapkan adanya tindakan cegah dini terhadap peluang terbangunnya potensi kejahatan seksual. Jika pun bukan cegah dini, setidaknya dapat dilakukan pencegahan agar tidak sampai terjadi sehingga angka-angka dapat kejahatan seksual dapat dicegah atau bahkan ditiadakan. Mungkinkah?
Inisiasi Polri
TINDAKAN cegah dini dan pencegahan, ampuh bila dilakukan dengan keterpaduan upaya secara dini pula. Pihak-pihak yang paling berkepentingan sesuai peran masing-masing adalah Pemerintah Daerah (provinsi, kabupaten, kota) yang memiliki Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Sebagaimana diketahui, adanya Dinas PPPA. memberi arti bahwa tangan-tangan jangkauan pembinaan Pemda –termasuk dengan kemampuan APBD-nya– menjangkau sampai ke tingkat kecamatan, kelurahan/ desa, bahkan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT).
Di wilayah itu pula, dapat dibangun kekuatan dini oleh Pemda mengingat adanya potensi kekuatan dari masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda, dan keluarga sebagai “sekolah pertama” bagi setiap anak anak dalam menapaki pertumbuhan fisik dan mentalnya
Polri adalah institusi yang paling berkepentingan menciptakan rasa aman bagi warga. Untuk itu, tindakan hukum (baca: represif) merupakan langkah terakhir. Polri seusaha mungkin mendahulukan tindakan cegah dini, jika bukan pencegahan agar sesuatu potensi tidak meletup berubah menjadi peristiwa. Sebab, bila suatu kriminal sudah terjadi, dapat dipastikan akan melelahkan. Dalam kalimat lain dapat dikatakan, “Lebih baik mencegah ketimbang sudah terjadi sesuatu.”
Berangkat dari pemikiran semacam itu, keterpaduan Pemda, masyarakat, dan Polri dalam menangani ancaman terus terjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan, sudah selayaknya terlembagakan secara baik di tingkat lingkungan pemukiman. Bahwa kemudian Polri melalui 34 Polda di Tanah Air menginisiasi, tentu merupakan suatu hal yang patut didukung dan kemudian lebih jauh.
Jalan pembuka yang ditempuh Polri, bisa bermacam-macam. Semisal yang diinisiasi oleh Kapolda Banten, Irjen Pol. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho, S.H., M.H. yaitu dengan mengadakan Focus Group of Discussion (FGD) yang diakhiri oleh peng-embrio-an Kampung Pelopor Peduli Perempuan dan Anak (PPPA). Maraknya tindak kejahatan dan penyimpangan seksual terhadap anak dan perempuan di wilayah hukum Polda Banten, justru telah memicu munculnya gagasan kreatif membentuk Kampung PPPA.
Dari FGD yang telah dijalankan Selasa (29/6/21), akan dilanjutkan dengan diskusi tim kecil yang membahas pengawalan terbentuknya percontohan Kampung PPPA. Percontohan ini diharapkan, pada gilirannya akan mendorong bertumbuhnya Kampung PPPA yang lain di setiap lingkungan permukiman. Pengoperasian Kampung PPPA, tentu butuh pembinaan Pemda dan langkah-langkah praktis dari para praktisi sosial di bidangnya.
Mengingat tingginya kejahatan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Tanah Air di satu di sisi, dan padahal di lain sisi terdapat potensi kepedulian masyarakat yang layak dibangkitkan, maka langkah yang ditempuh Polda Banten, sangat mungkin oleh Polri dikembangkan menjadi program bagi setiap Polda di Tanah Air. Mungkin ini akan menjadi hadiah terindah bagi masyarakat dari Polri yang merayakan Hari Bhayangkara ke-75 pada Kamis, 1 Juli 2021 ini.
Catatan yang patut menjadi perhatian bahwa, sinergi peran agama dan keagamaan, kearifan lokal termasuk adat dan budaya kesetempatan, serta terpenuhinya porsi asuh dari para orangtua, akan membuat anak peka terhadap potensi kekerasan yang mengancam keselamatan mereka. Di situlah ajaran-ajaran moral dan keadaban, disertai kearifan, keteladan nyata dari orangtua dan pola asuh penuh kasih-sayang, akan membuat kokoh anak baik secara mental maupun spiritual. Bila yang terjadi sebaliknya, dapat diduga upaya semaksimal apa pun, cuma akan bicara Polri dengan tindakan represifnya. Cegah dini atau pencegahan makin menjauh!.**
–ooENDoo–