JAKARTA (syarasiber.co.id) – Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun mendukung Program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tentang Journalist Fellowship & Training 2021. Hal tersebut disampaikannya pada saat menjadi narasumber Journalist Fellowship yang dilaksanakan secara Virtual. Selasa, 24/08/2021.
Hendry Ch Bangun menjelaskan ada dua sudut pandang pemberitaan tentang kelapa sawit secara umum terbangi dalam dua kategori yang berseberangan dan menarik untuk dibicarakan, di satu sisi kelapa sawit menjadi komoditas yang berkontribusi besar bagi Indonesia. Tahun 2020, ketika perekonomian sedang lesu ekspor sawit mencapai 22.997 milyar dolar AS, naik 13,10% dari tahun 2019. Sampai Mei 2021 ekspor sudah mencapai 17,60 milyar dolar AS dan diperkirakan akan naik dibanding tahun 2020. Pendapatan negara dari ekspor ini merupakan suntikan darah segar dari kelesuan berbagai bidang bisnis.
“Sari sisi ketenagakerjaan, ada sekita 16 juta orang yang terlibat di sawit ini mulai dari sisi hulu sampai hilir, mulai dari tingkat pendidikan rendah sampai profesional sangat besar dibanding bidang lain. Dari perkebunan sampai menjadi minyak sawit dan produk turunan lainya, komoditas ini menyerap angkatan kerja nasional yang terus tumbuh dari tahu ke tahun. Dengan bertambahnya lahan, bertambahnya produk yang dihasilkan maka bertambah pula sumber dya manusia yang diserap, mengurangi pengangguran yang dapat menciptakan instabilitas bagi negara”papar Hendry Ch Bangun.
Di sisi lain kita tidak menutup mata dari adanya dampak lingkungan dari pembukaan lahan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera, yang totalnya kini mencapai 16,4 juta HA dan terus bertambah. Harus diakui lahan sawit dulunya adalah hutan dengan kekayaan alam, hunian ideal bagi banyak satwa, tempat tinggal bagi kelompok manusia atau masyarakat adat, menghasilkan udara bersih, dan kini menjadi perkebunan dengan satu macam tanaman. Apabila terjadi kebakaran lahan, konflik lahan, kematian satwa liar, banjir, penderitaan kelompok/masyarakat adat, yang menjadi kambing hitam adalah kelapa sawit.
“Itu semua merupakan topik yang menarik untuk menjadi berita, dan ditambah dengan panjangnya rantai hulu-hilir, banyak sekali pihak yang dapat memanfaatkan isyu sawit. Mulai dari bibit abal-abal, pupuk palsu sampai dampak negatif penggunaan biodiesel, misalnya. Belum lagi kampanye negatif dari negara-negara di Eropa, yang selalu menyerang sawit dengan isyu penggundulan hutan, dampak buruk mengkonsumsi minyak sawit. Padahal intinya perang dagang karena bunga matahari, kedelai, secara kualitatif tidak bisa bersaing dengan sawit. Gagal bersaing mencari-cari kesalahan orang” jelasnya.
Lanjutnya, wartawan bekerja untuk kepentingan publik dan agar dapat membuat berita sesuai standar jurnalistik dan tidak melanggar kode etik harus memiliki pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang bidang liputannya. Terkait isyu sawit itu menjadi lebih penting karena wartawan tidak boleh terjebak dalam perangkap kepentingan asing, namun tetap bersikap kritis terhadap berbagai hal yang terjadi di dalam negeri. Sering kita lihat bahwa media dengan mudah menjadikan press release dari LSM karena dikemas menarik, termasuk sudut pandang (Angle) yang menggugah, karena mencuplik sesuai target mereka.
“Padahal kalau mau sedikit repot untuk mencermati atau menggali data dan mengkroscek, akan didapat potret utuh yang menjadi konteks atau duduk persoalan berita itu, tugas yang sering dilupakan wartawan karena dikejar waktu deadline. Oleh karena itu, apapun upaya untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas wartawan, tentang sawit khususnya, harus dilakukan supaya wartawan kita terupdate atas hal-hal baru. Dengan demikian, minimal tidak menjadi megaphone kepentingan orang yang memang tidak suka pada Indonesia, dan paling bagusnya memahami posisi strategis sawit bagi bangsa dan negara”tutupnya. (Yudhi)