Oleh: Dr Pulumun. P Ginting . S.sn.,M.Sn dalam Seminar Budaya Kebaktian Penyegaran Iman (KPI) BP Mamre Klasis GBKP Jakarta Banten di Aula UC Hotel UGM Jogjakarta 30-31Agustus dan1 September 2024
Yogjakarta, (suarasiber.co.id) – Suku Karo adalah suku asli yang menetap di dataran tinggi Karo, termasuk Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dari dan Kota Medan. Nama suku ini diambil dari nama wilayah tempat mereka tinggal, yaitu Kabupaten Karo.
Bahasa Karo digunakan sebagai alat komunikasi mereka dan salam tradisional untuk menyapa adalah “Mejuah-juah” yang menggambarkan kehangatan dalam budaya masyarakat Karo. Pakaian adat Suku Karo umumnya memiliki motif warna merah dan hitam, sering kali diperindah dengan perhiasan emas, mencerminkan kekayaan dan keindahan warisan budaya mereka.
Sangkep Nggeluh:
Ini adalah filosofi hidup masyarakat Karo yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk agama, adat, dan hubungan sosial. “Sangkep Nggeluh” mengandung makna untuk hidup dalam keseimbangan dan harmoni, dengan menjalankan nilai-nilai adat dan tradisi Karo dalam kehidupan sehari-hari.
1.Merga Silima
Merupakan sistem marga dalam masyarakat Karo yang terdiri dari lima kelompok utama:
Karo-karo,
Ginting,
Sembiring,
Tarigan,
Perangin-angin.
Sistem ini sangat penting dalam menjaga struktur sosial dan menentukan hubungan pernikahan serta interaksi antar individu dalam masyarakat Karo. Setiap marga memiliki peran dan tanggung jawab tertentu dalam upacara adat.
2.Rakut Sitelu
Rakut Sitelu adalah konsep yang mengatur hubungan antara tiga kelompok utama dalam sistem sosial Karo:
Kalimbubu (pihak pemberi istri)
Senina (pihak saudara sekandung)
Anakberu (pihak penerima istri)
Ketiga kelompok ini saling berkaitan dan memiliki peran yang saling melengkapi dalam berbagai upacara adat, termasuk pernikahan, kematian, dan upacara-upacara lainnya. Rakut Sitelu memastikan bahwa setiap pihak menjalankan perannya dengan baik, sehingga terjaga keseimbangan sosial.
3. Tutur Siwaluh
Ini adalah sistem yang lebih rinci dalam masyarakat Karo yang mencakup delapan subkelompok berdasarkan garis keturunan dan pernikahan. Tutur Siwaluh mengatur hubungan antar individu dalam komunitas, termasuk bagaimana mereka harus berperilaku satu sama lain dalam konteks adat. Delapan subkelompok ini membentuk jaringan sosial yang luas, di mana setiap individu memiliki tempat dan peran dalam komunitas.
4.Perkade-Kaden Sepuluh Dua Tambah Sada
Merupakan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan sosial dalam masyarakat Karo, terdiri dari 13 prinsip, yang mencakup berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya. Prinsip-prinsip ini meliputi aturan mengenai bagaimana menghormati orang lain, menjaga keharmonisan dalam keluarga dan komunitas, serta menjalankan tanggung jawab sosial. Ini adalah panduan etika yang membantu masyarakat Karo dalam berinteraksi satu sama lain dan menjaga integritas sosial.
Secara keseluruhan, konsep-konsep ini membentuk kerangka kerja adat dan sosial yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Karo, memastikan bahwa setiap anggota masyarakat menjalankan perannya dengan baik dan menjaga harmoni dalam komunitas.
“Pedah Silima” adalah sebuah nilai kearifan lokal dari budaya Karo yang mengandung lima prinsip dasar untuk menjaga hubungan sosial dalam masyarakat. Berikut adalah penjelasan singkat tentang masing-masing nilai:
1.Erkemalangen Man Dibata
Mengandung makna menghormati dan memuliakan Tuhan. Ini adalah nilai spiritual yang menekankan pentingnya hubungan manusia dengan penciptanya, yang harus selalu dijaga melalui doa, upacara adat, dan perilaku yang baik.
2.Mehamat Er Kalimbubu
Mengandung makna menghormati dan memuliakan kalimbubu, yaitu pihak pemberi istri dalam adat Karo. Kalimbubu memiliki peran penting dalam struktur sosial masyarakat Karo, dan nilai ini mengajarkan pentingnya menghormati mereka dalam kehidupan sehari-hari.
3.Erpersukuten Man Sembuyak Senina
Mengandung makna menjaga hubungan baik dengan sembuyak dan senina (saudara atau kerabat dari satu suku). Nilai ini menekankan pentingnya persatuan dan saling tolong-menolong di antara sesama anggota keluarga atau kelompok sosial yang lebih luas.
4.Metami Er Anakberu
Mengandung makna mengasihi dan memberikan perhatian kepada anakberu (pihak penerima istri dalam adat Karo). Nilai ini mengajarkan pentingnya hubungan harmonis dan saling menghargai dalam keluarga, khususnya antara pihak-pihak yang terikat oleh pernikahan adat.
5.Mekade-Kade Ku Jelma Sienterem
Mengandung makna bersikap ramah dan adil kepada semua orang. Nilai ini mengajarkan pentingnya keramahan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan orang lain, tanpa memandang status atau latar belakang mereka.
Secara keseluruhan, “Pedah Silima” merupakan landasan moral dan etika yang membimbing masyarakat Karo dalam membangun kehidupan yang harmonis, saling menghormati, dan menjaga hubungan sosial yang kuat.
Perkawinan Masyarakat Karo:
Bagi Masyarakat Karo Perkawinan Membawa Seseorang Menjadi Terlibat Secara Penuh Dalam Aktivitas Adat Karo. Sebelum Kawin Walaupun Sudah Berumur Belum Dapat Terlibat Dalam Aktifitas Adat. Dengan Demikian Tujuan Dari Perkawinan Secara Adat Adalah Untuk Melestarikan Adat Karo.
Harapan dalam perkawinan masyarakat Karo mencerminkan nilai-nilai dan tujuan yang diinginkan oleh keluarga dan komunitas dalam membangun sebuah rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Berikut adalah penjelasan tentang masing-masing harapan yang Anda sebutkan:
1.Sangap Njabuken Bana
Harapan ini mencerminkan keinginan agar keluarga yang dibentuk melalui perkawinan memperoleh kehormatan dan martabat. “Sangap” berarti kehormatan, sementara “njabuken bana” bisa diartikan sebagai keluasan atau kelimpahan. Jadi, harapan ini adalah agar keluarga baru dihormati dan memiliki status yang baik di mata masyarakat.
2.Ertuah Bayak, Tubuh Anak Dilaki Anak Diberu
Ini adalah doa agar pasangan yang menikah diberkahi dengan banyak keturunan, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam budaya Karo, memiliki anak dianggap sebagai berkah besar dan salah satu tujuan utama perkawinan.
3.Jumpa Pencarin
Mengandung makna harapan agar keluarga yang baru dibentuk mendapatkan rezeki yang cukup, atau dengan kata lain, memiliki kecukupan dalam hal ekonomi dan kebutuhan sehari-hari. Ini mencerminkan pentingnya stabilitas ekonomi dalam kehidupan rumah tangga.
4.Merih Manuk Niasuh Mbuah Page Nisuan
Harapan ini mengacu pada kemakmuran dan kelimpahan hasil dari usaha yang dilakukan oleh keluarga. “Merih manuk” merujuk pada ayam yang gemuk, sementara “niasuh mbuah” dan “page nisuan” mengacu pada tanaman yang berbuah lebat dan subur. Ini adalah simbol dari keberhasilan dan kemakmuran dalam kehidupan bertani atau bekerja.
5.Ngasup Ndahi Kade-Kade, Kerina Sangkep Nggeluh
Ini adalah harapan agar keluarga selalu hidup dalam kerukunan, harmoni, dan saling menghormati dengan semua orang di sekitarnya. “Ngasup ndahi” berarti mendapatkan kebahagiaan, sementara “kade-kade” dan “kerina sangkep nggeluh” merujuk pada hubungan sosial dan adat dalam masyarakat Karo.
6.Juah-Juahen
Harapan ini adalah agar keluarga dijauhkan dari segala marabahaya dan kesulitan. Ini mencerminkan doa agar keluarga selalu berada dalam perlindungan dan keselamatan.
7.Seh Bagi Sura-Sura
Mengandung makna agar keluarga senantiasa berada dalam keadaan sehat, kuat, dan berdaya tahan seperti sura-sura (sejenis pohon yang terkenal kuat dan tahan). Ini adalah harapan agar keluarga dapat menghadapi segala tantangan dengan kekuatan dan ketahanan yang baik.
8.Cawir Jabu Njanah Cawir Metua
Harapan ini mencerminkan keinginan agar keluarga yang dibentuk akan berkembang dengan baik dan tetap utuh hingga tua. “Cawir jabu” berarti rumah yang indah atau teratur, sementara “cawir metua” berarti mencapai usia tua dengan sejahtera. Ini adalah harapan agar keluarga tetap harmonis dan sejahtera sepanjang hidup.
Secara keseluruhan, harapan-harapan ini mencerminkan keinginan masyarakat Karo untuk membangun keluarga yang sejahtera, harmonis, dan diberkahi dengan anak-anak yang banyak serta hidup yang makmur dan panjang umur. Nilai-nilai ini menunjukkan betapa pentingnya perkawinan dalam menjaga keberlangsungan adat dan tradisi dalam masyarakat Karo.
Simbol Perkawinan Masyarakat Karo
Sah Jika Upacara Perkawina Dilakukan
Adat Perlu Saksi, Seremonial Perlu Saksi
Kosmos, Jiarah Sebelum Upacara
Kekuatan Rangkaian Perkawinan
Kebersamaan, Gotong Royong, Kearifan Lokal, Tanggung Jawab
Makan – Pinggan Kehamaten, Pangan Kehamaten.
Protokol/Singerunggui Sangat Berperan Dan Tidak Ada Sekolah Formal.
Seni
1. Bunyi
2. Gerak
3. Rupa
4. Drama/Teater
Falsafah negara dan masyarakat Karo, sebagaimana yang Anda sampaikan, mengintegrasikan nilai-nilai dasar kehidupan manusia ke dalam kerangka sosial dan budaya Karo. Berikut adalah penjelasan bagaimana falsafah ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Karo:
1.Ketuhanan: Erkemalangen Man Dibata
Konsep ini mencerminkan penghormatan kepada Tuhan (Dibata) sebagai pusat kehidupan spiritual. Dalam masyarakat Karo, keyakinan kepada Tuhan adalah landasan utama dalam segala aktivitas kehidupan, baik pribadi maupun sosial. “Erkemalangen” berarti memuliakan atau menghormati, menunjukkan bahwa kehidupan yang dijalani harus selalu dilandasi dengan penghormatan kepada Tuhan.
2.Kemanusiaan: Mehamat Er Kalimbubu
“Mehamat” berarti menghormati, dan “Kalimbubu” adalah kelompok yang memiliki peran penting dalam adat Karo, yaitu pihak pemberi istri. Ini mencerminkan nilai kemanusiaan dalam hubungan sosial, di mana setiap orang harus saling menghormati dan memperlakukan satu sama lain dengan hormat, terutama kepada mereka yang memiliki peran penting dalam struktur sosial.
3.Persatuan: Erpersukuten Man Sembuyak Senina
“Erpersukuten” berarti bersatu, dan “Sembuyak Senina” merujuk pada saudara-saudara sekandung atau kerabat. Persatuan di antara keluarga dan kelompok sosial adalah elemen penting dalam menjaga keharmonisan dan stabilitas masyarakat Karo. Persatuan ini dipegang teguh melalui berbagai upacara adat dan interaksi sehari-hari.
4.Kerakyatan: Metami Er Anak Beru
“Metami” berarti mengasihi atau memberikan perhatian, dan “Anak Beru” adalah kelompok yang menerima istri dalam adat Karo. Ini menggambarkan nilai kerakyatan, di mana setiap orang dalam masyarakat Karo diharapkan untuk saling mendukung dan mengasihi satu sama lain, terutama dalam konteks keluarga besar dan hubungan perkawinan.
5.Keadilan: Mekade-Kade Man Jelma Sienterem. Rendi-Renta, Dalam Adat Tidak Ada Hegemoni.
“Mekade-Kade” berarti bersikap adil dan baik kepada orang lain, “Jelma Sienterem” merujuk kepada semua orang tanpa memandang status atau latar belakang. “Rendi-Renta” menegaskan bahwa dalam adat Karo, tidak ada dominasi atau hegemoni; setiap individu diperlakukan secara setara. Ini menunjukkan bahwa keadilan sosial adalah prinsip yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Karo, dan adat dipraktikkan tanpa adanya diskriminasi atau ketidakadilan.
Secara keseluruhan, falsafah negara dan masyarakat Karo ini berupaya mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, sosial, dan etika ke dalam struktur kehidupan masyarakat. Ini tidak hanya membentuk dasar hubungan antarindividu, tetapi juga menjadi landasan dalam membangun komunitas yang harmonis, adil, dan penuh penghormatan terhadap adat dan tradisi. (Red)